Resistensi – Prolog

Mahasiswa

Resistensi tidak akan mengenal waktu untuk muncul, sejauh pihak-pihak yang berkuasa juga tidak mengenal waktu untuk melakukan tindakan yang dianggap merugikan oleh pihak yang dikuasai. Masih dalam suasana libur tahun baru dan liburan semester gasal tahun ajaran 2013/2014, sekelompok mahasiswa di Hukum Universitas Indonesia (FHUI), memulai sebuah gerakan yang menentang keputusan yang dibuat oleh Dekan FHUI.

Gerakan ini dimulai saat ketua angkatan mahasiswa Paralel FHUI angkatan 2010 mendengar kabar bahwa Dekan FHUI akan mengganti Kepala Sub-Program Studi Paralel dan Ekstensi, yang saat ini dipercayakan kepada Purnawidhi Purbacaraka, S.H., M.H. atau yang biasa dipanggil Pak Widi. Penggantian ini sebetulnya tidak hanya terjadi di jabatan Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi, melainkan juga terjadi di Subprodi Reguler dan KKI. Akan tetapi, sejauh ini gerakan penolakan ini baru terjadi di kalangan mahasiswa Paralel dan Ekstensi.

Pada awalnya, gerakan ini dimulai dengan penyebaran informasi mengenai adanya pergantian Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi kepada seluruh mahasiswa Paralel dan Ekstensi. Gerakan ini kemudian berlanjut dengan pertemuan dari berbagai golongan di mahasiswa Paralel dan Ekstensi, yang mencakup seluruh perwakilan dari tiap angkatan pada hari Jumat (3/1). Tujuan pengumpulan ini sebenarnya untuk mempertanyakan apakah keputusan dari Dekan untuk mengganti Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi memiliki dampak bagi mahasiswa, atau hanya dari segelintir golongan saja. Ternyata, dalam pertemuan tersebut, ditemukan banyak pihak dari mahasiswa Paralel dan Ekstensi yang memang merasa dirugikan dengan keputusan ini.

Pak Widi

Apa yang sebenernya membuat para mahasiswa ini tidak setuju dengan keputusan Dekan FHUI untuk melakukan penggantian Kepala Sub-Program Studi Paralel dan Ekstensi? Alasan utamanya mungkin sederhana. Dari obrolan dengan Warih Tunggul Wulung dan Ficky Faizal, yang merupakan mahasiswa Prodi Paralel angkatan 2010 dan satu mahasiswa yang ikut serta dalam gerakan ini. Sebelumnya, hanya ada dua prodi di FHUI, yaitu reguler dan ekstensi. Semenjak tahun 2010, program Paralel diperkenalkan dan menjadi satu dengan prodi Ekstensi. Jadi bisa dibilang sejak mereka masuk, Pak Widi lah orang pertama yang mengayomi mereka.

Selama ini menurut para mahasiswa yang menggagas gerakan ini, kinerja dari Pak Widi dianggap bagus karena beliau selalu cepat tanggap dalam menangani beberapa kepentingan mahasiswa, seperti membuka kelas di suatu semester ketika kelas tersebut sudah penuh. Semua tuntutan dari mahasiswa ini ditanggapi dengan cepat, tanpa pernah ada alasan sibuk atau yang lainnya, bahkan tanpa perlu menandatangi Sekretariat Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi atau bertatap muka. Berbagai macam kepentingan bisa diurus melalui sambungan telepon atau pesan singkat.

Selain itu, Pak Widi sendiri dianggap sebagai figur ayah bagi para mahasiswa prodi Paralel. Akrab dipanggil ‘Babe’, Pak Widi memiliki kedekatan khusus dengan para mahasiswa Paralel dan Ekstensi. “Dia itu orangnya sangat ramah, artinya waktu ngobrol itu dia ga kaku seperti beberapa dosen, bahkan kami sering menggunakan percakapan yang menggunakan lo gue” kata Tunggul. Interaksi dengan Babe selalu bersifat kekeluargaan, suasana yang mungkin membuat nyaman beberapa mahasiswa sehingga obrolan dengan Pak Widi bukan hanya seputar akademis saja, melainkan juga ke hal-hal yang lebih personal seperti curahan hati para mahasiswa.

Ketika ada sebuah permasalahan akademik dari mahasiswa misalnya, beliau lebih sering jemput bola, dalam artian bukan mahasiswa yang mendatangi beliau namun beliau yang langsung mendatangi mahasiswa. “Dia langsung bertanya ‘lo kenapa?’ dan approach nya juga sangat kekeluargaan, tidak dengan langsung memarahi mahasiswa.” kata Tunggul. Pendekatan seperti inilah yang membuat mahasiswa yang biasanya malas untuk mengurus birokrasi menjadi lebih nyaman dalam mengurus permasalahan mahasiswa. Kultur seperti ini, menurut Tunggul, adalah hal yang ia takutkan akan hilang ketika Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi yang sekarang digantikan. Apalagi penggantiannya bukan hanya di jabatan Kepala saja, melainkan juga beserta jajaran staf yang ada.

Kinerja yang baik ini, menurut sebagian mahasiswa, bukan merupakan alasan yang logis untuk mengganti Pak Widi dengan orang lain.

Paralel

Padahal, menurut Tunggul, sebagai program yang terbilang baru di FHUI, prodi Paralel mempunyai karakteristik dan kultur khusus yang berbeda dengan tempat lain yang belum tentu dimengerti oleh orang baru yang akan menggantikan Pak Widi. Persoalan cicilan biaya BOP maupun permasalah evaluasi akademik, ditakutkan para mahasiswa akan menjadi enggan untuk mengurus permasalahan ini ketika orang yang memegang jabatan adalah orang yang tidak terlalu mengerti.

Persoalan cicilan misalnya, seperti yang kita tahu, mahasiswa Prodi Paralel di UI tidak bisa mendapatkan beasiswa dalam bentuk apapun. Dengan beban biaya perkuliahan yang lebih mahal ketimbang biaya BOP prodi Reguler, Pak Widi selalu mengupayakan untuk mencegah supaya mahasiswa jangan sampai berhenti kuliah karena permasalahan ekonomi.

“Bukan hanya masalah biaya, katakanlah ada mahasiswa yang patah hati atau punya permasalahan keluarga yang mengganggu perkuliahan seorang mahasiswa (membuat mereka jadi jarang masuk, misalnya), Pak Widi selalu menjadi figur yang melakukan approach terhadap kami. Hal-hal tersebut sudah bisa dibilang membudaya di mahasiswa Paralel, yang membedakan kami dengan Prodi lain.” Tunggul menambahkan. Menurutnya lagi, kedekatan Pak Widi dengan mahasiswa Paralel membuat beberapa mahasiswa bahkan menjadikan Sekretariat Subprodi Paralel dan Ekstensi sebagai tempat nongkrong, hal yang tidak terjadi di Prodi Reguler, misalnya.

Pak Dekan

Sejauh ini, alasan yang diberikan Bapak Dekan FHUI untuk mengganti Pak Widi adalah peremajaan dari jabatan Kepala Sub-Prodi Paralel dan Ekstensi. Akan tetapi, alasan ini dianggap tidak wajar oleh sebagian mahasiswa yang tergabung dalam gerakan ini, karena pengganti Pak Widi sendiri merupakan seseorang yang secara usia tidak lebih muda dari Pak Widi sendiri, dan karena itu alasan peremajaan bukanlah alasan yang logis untuk menjelaskan penggantian ini. Mahasiswa mempertanyakan urgensi dari penggantian ini ketika memang dirasa tidak ada calon yang lebih baik dari yang digantikan.

Dialog dengan Dekan FHUI telah dilakukan pada hari yang sama dengan pertemuan para mahasiswa Paralel dan Ekstensi. Dari dialog pada hari itu, telah dikonfirmasi bahwa alasan dari penggantian Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi adalah peremajaan. Ketika ditanya alasan dari peremajaan itu sendiri, beliau mengatakan bahwa ada beberapa alasan yang tidak bisa diuangkapkan kepada umum. Hasl dari dialog dengan Dekan FHUI telah diberitahukan kepada para mahasiswa Paralel dan Ekstensi, dan ternyata alasan ini sendiri dianggap tidak memuaskan.

Petisi

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan di hari Jumat, para mahasiswa paralel dan ekstensi ini berencana untuk mengajukan petisi yang bertujuan agar Dekan FHUI setidaknya mau meninjau kembali keputusan beliau untuk melakukan peremajaan pada jabatan Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi. Petisi ini juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa ketidkpuasan bukan hanya muncul dari segelintir orang yang menemui Pak Dekan tapi berasal dari mahasiswa yang jumlahnya banyak.

Petisi ini sendiri intinya meminta beberapa hal yaitu:

1-Pembatalan penggantian Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi.

2-Jika memang penggantian tidak bisa dihindarkan, siapapun pengganti dari Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi yang sekarang menjabat harus melalui rekomendasi dari Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi yang sekarang menjabat.

3-Penggantian hanya di dilakukan di jabatan Kepala Subprodi Paralel dan Ekstensi, dan tidak ada penggantian di jajaran staf dari Sekretariat Subprodi Paralel dan Ekstensi.

Petisi ini disusun oleh berbagai kalangan di gerakan ini dan rencananya akan dilakukan pengumpulan tanda tangan yang mendukung petisi ini, yang akan dilakukan pada hari Senin dan Selasa (6-7/1). “Penandatanganan petisi kali ini bersifat sukarela, artinya kami tidak mengundang siapapun untuk ikut menandatangani petisi ini, jadi ini murni siapapun yang merasa dirugikan oleh keputusan ini atau siapapun yang memiliki simpati pada gerakan ini. Dan untuk pihak yang tidak mendukung, kami juga ingin tahu alasan mereka tidak mendukung petisi ini. Seandainya alasannya adalah ketidaktahuan akan permasalahan ini, akan kami beritahu, tapi kalau memang mereka tidak mendukung pun tidak masalah.” Kata Tunggul saat mengakhiri wawancara oleh penulis di Kamar 6, Pondok Ripi Minggu dini hari (5/1).

Masih menurut Tunggul, sejauh ini gerakan ini hanya berasal dari beberapa orang yang merasa dirugikan oleh keputusan dari Dekan FHUI ini artinya, gerakan ini masih tidak dianggap penting kecuali oleh para mahasiswa Paralel dan Ekstensi. Meskipun sudah dibuka komunikasi dengan badan-badan kemahasiswaan yang ada di FHUI, sejauh ini anggota dari badan-badan kemahasiswaan tersebut hanya menawarkan bantuan secara personal dan tidak mengatasnamakan badan kemahasiswaan tertentu.

Kamar 6, Pondok Ripi, yang tidak pernah tidur

Minggu, 5 Januari 2014

DISCLAIMER : Tulisan ini merupakan bentuk jurnalisme warga yang dibuat sekedar untuk menginformasikan apa yang terjadi di lingkungan sekitar dari penulis. Penulis tidak bermaksud untuk melakukan ajakan terhadap pihak manapun untuk mendukung gerakan ini, (walaupun secara subjektif penulis mendukung gerakan ini) apalagi untuk memojokkan pihak-pihak tertentu. Penulis memohon maaf atas kesalahan atau ketidakakuratan dari informasi yang ada dalam tulisan ini.